Minggu, 12 Februari 2017

HAKEKAT FIQIH

Secara semantik, kata arab “al-fiqh” adalah bentuk kata benda abstrak, yaitu kata kerja yang dibendakan (arab:mashdar ; inggris:gerund). Akar katanya adalah huruf fâ, qâf dan hâ.
Ia sewazan, sebentuk dan searti dengan kata arab “al-fahm”,[1] yang dapat diindonesiakan dengan “pengertian, pemahaman, pengetahuan”. Makna harfiah kata al-fiqh searti dengan al-fahm lebih detail ditegaskan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa makna al-fiqh secara etimologis adalah “pemahaman sangat mendalam hingga mengetahui tujuan akhir perkataan dan perbuatan”[2]. Makna etimologis kata al-fiqhu demikian ini benar-benar berlaku dalam budaya kebahasaan arab, sebagaimana dalam al-qur’an  :
a. Q.S. Al-nisa ayat 78 :
فَمَالِ هَؤلاَء الْقَوْمِ لاَ يَكادُوْنَ يَفْقَـهُوْنَ حَدِيْثًا
“ Mengapa orang-orang munafiq itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun) “.

b. Q.S. Al-an’am ayat 65 :
أُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ اْلآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَـهُوْنَ
“ Perhatikanlah, bagaimanakah Kami memperlihatkan (kepada mereka) Beberapa bukti kekuasaan Kami agar mereka mau memahami “.

c. Q.S. al-hasyru ayat 13 :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُـوْنَ
“ yang demikian itu karena mereka (para munafiqin) adalah kelompok manusia yang tidak mau mengerti “.
           
Dalam hadits nabi juga digunakan kata yang seakar dengan kata “al-fiqh” sebagaimana sabda beliau :
مَنْ يُرِدَ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّـهْهُ فِيْ الدِّيْنِ
“ barang siapa dikehendaki Allah memiliki kebaikan, ia akan dijadikan mengerti/memahami (ajaran) agama “

Semua kata yang berakar " ف – ق – هـ " pada ayat dan hadits di atas secara harfiah hanya dapat dimaknai sama dengan kata  فـهم  , meskipun tidak bisa difahami sama secara terminologis.
Selain bermakna al-fahm, secara leksikal (kamus), al-fiqh juga searti dengan “al-‘ilm”, sebagaimana pernyataan Al-Ghazaliy yang dikutip oleh Muhammad Yusuf musa[3] :
والفقه عبارة عن العلم والفهم في أصل الوضع
Adapun secara terminologis, makna al-fiqh tidak bertentangan dengan makna etimologisnya, hanya saja lebih menunjuk pada kekhususan. Terdapat beberapa pendapat para pakar mengenai konotasi istilah al-fiqh. Bagi Abu hanifah (Tokoh pokok madzhab fiqih hanafi), seperti dikutip Wahbah Al-zuhailiy, kategori fiqh secara istilah menunjuk pada “disiplin pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya”[4]. Pengetahuan di sini menunjuk pada daya potensi yang muncul akibat selalu menekuni penerapan kaidah dan dalil hingga mampu menangkap bagian-bagian tertentu. Definisi yang dikemukakan oleh al-hanafi ini berlaku komprehensip terhadap segala aspek, tidak hanya terbatas pada urusan aktivitas lahiriah (al-‘amal, al-fi’l), melainkan juga urusan kepercayaan serta ketatasulilaan. Hal ini sangat beralasan mengingat pada masa Abu hanifah, fiqh belum nampak menjadi disiplin ilmu khusus tersendiri, tetapi fiqih berkonotasi pada ilmu-ilmu syareat secara keseluruhan. Itulah sebabnya beliau menamakan karya tulis ilmiah pertamanya yang mencakup lintas aspek keilmuan Islam dengan “al-fiqh al-akbar”.
            Pada perkembangan keilmuan Islam selanjutnya telah muncul berbagai jenis disiplin keilmuan secara terpisah satu dari yang lain berdasarkan fokus pembahasan, sehingga muncul disiplin ilmu kalam atau ilmu tauhid tentang keimanan, ilmu akhlaq dan tashawwuf tentang perasaan batiniah. Berbagai aspek disiplin yang dibutuhkan untuk memahami isi al-qur’an disebut ’Ulûm al-qur’ân, disiplin tentang bacaan al-qur’an disebut ilm al-qirâât dan lain sebagainya, sehingga sekup fiqih menjadi terbatas pada masalah hak dan kewajiban pada aspek amaliah, dan dengan begitu, penerus Al-hanafi menambahkan konotasi “amaliah”[5] pada definisi fiqih yang telah dirumuskan sebelumnya. Ini lain lagi dengan Al-kasani. Ia mendefinisikan al-fiqhu dengan “suatu disiplin pengetahuan tentang halal dan haram serta pengetahuan tentang syareat dan hukum[6].
            Imam Al-syafi’i, sebagaimana mendapat pembenaran dari Al-Zuhailiy[7], merumuskan terminology fiqih dengan “suatu disiplin pengetahuan tentang hukum syara’ dalam aspek amal perbuatan (lahiriah) yang dihasilkan melalui studi terhadap dalil-dalil syara’ yang spesifik (khusus, tertentu)”. Pengetahuan di sini bukan keyakinan atau kepastian yang bernilai benar mutlak, tetapi harus difahami sebagai yang muncul pada diri seseorang berdasarkan dugaan kuatnya. Otomatis kebenarannya bersifat relatif. Bagi Al-syafi’iy, fiqih juga dapat menunjuk pada “ketentuan hukum syara’ yang dihasilkan melalui proses ijtihad”. Artinya, fiqih menunjuk pada produk ijtihad itu sendiri, bukan pengetahuan tentang produk dimaksud.




[1]Husain Hâmid Hassân, Al-hukm al-syar’iy ‘ind al-ushûliyyîn, (Cairo:Dâr al-nahdlah al-‘arabiyah, 1972) hal 3 ; Wahbah Al-Zuhailiy, Ushûl al-fiqh al-islâmiy, (Damascus:Dâr al-fikr, 1986) hal 18
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-fiqh, (t.k., Dâr al-fikr al-‘arabiy, t.t.) hal 6.

[3]Muhammad Yusuf Musa, Al-fiqh al-islâmiy madkhal li dirâsati, nizhâm al-mu’âmalât f îh, (Cairo:Dâr al-kutub al-hadîtsah, t.t.) hal 9.
[4] Wahbah Al-Zuhailiy, Ibid, hal 19.

[5]Ibid.
[6]Ibid.; Lihat juga Muhammad Yusuf Musa, Op cit.
[7]Wahbah Al-Zuhailiy, Op cit, hal 19

0 komentar:

Posting Komentar