Secara
semantik, kata arab “al-fiqh” adalah bentuk kata benda
abstrak, yaitu kata kerja yang dibendakan (arab:mashdar ; inggris:gerund). Akar
katanya adalah huruf fâ, qâf dan hâ.
Ia sewazan, sebentuk dan searti dengan
kata arab “al-fahm”,[1] yang
dapat diindonesiakan dengan “pengertian, pemahaman, pengetahuan”. Makna harfiah
kata al-fiqh searti dengan al-fahm lebih detail ditegaskan oleh Muhammad Abu
Zahrah, bahwa makna al-fiqh secara etimologis adalah “pemahaman sangat mendalam
hingga mengetahui tujuan akhir perkataan dan perbuatan”[2]. Makna
etimologis kata al-fiqhu demikian ini benar-benar berlaku dalam budaya kebahasaan
arab, sebagaimana dalam al-qur’an :
a. Q.S. Al-nisa ayat 78 :
فَمَالِ هَؤلاَء الْقَوْمِ لاَ يَكادُوْنَ
يَفْقَـهُوْنَ حَدِيْثًا
“ Mengapa orang-orang munafiq itu hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan (sedikit pun) “.
b. Q.S. Al-an’am ayat 65 :
أُنْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ اْلآيَاتِ
لَعَلَّهُمْ يَفْقَـهُوْنَ
“ Perhatikanlah,
bagaimanakah Kami memperlihatkan (kepada mereka) Beberapa bukti kekuasaan Kami
agar mereka mau memahami “.
c. Q.S. al-hasyru ayat 13 :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُـوْنَ
“ yang demikian itu karena mereka (para munafiqin) adalah
kelompok manusia yang tidak mau mengerti “.
Dalam hadits nabi juga digunakan kata yang seakar
dengan kata “al-fiqh” sebagaimana sabda beliau :
مَنْ
يُرِدَ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّـهْهُ فِيْ الدِّيْنِ
“ barang siapa dikehendaki Allah memiliki kebaikan, ia akan dijadikan
mengerti/memahami (ajaran) agama “
Semua kata yang berakar " ف –
ق – هـ " pada ayat dan hadits di atas secara
harfiah hanya dapat dimaknai sama dengan kata
فـهم , meskipun
tidak bisa difahami sama secara terminologis.
Selain
bermakna al-fahm, secara leksikal (kamus), al-fiqh juga searti dengan
“al-‘ilm”, sebagaimana pernyataan Al-Ghazaliy yang dikutip oleh Muhammad Yusuf
musa[3] :
والفقه
عبارة عن العلم والفهم في أصل الوضع
Adapun secara terminologis, makna al-fiqh tidak
bertentangan dengan makna etimologisnya, hanya saja lebih menunjuk pada
kekhususan. Terdapat beberapa pendapat para pakar mengenai konotasi istilah
al-fiqh. Bagi Abu hanifah (Tokoh pokok madzhab fiqih hanafi), seperti dikutip
Wahbah Al-zuhailiy, kategori fiqh secara istilah menunjuk pada “disiplin
pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya”[4].
Pengetahuan di sini menunjuk pada daya potensi yang muncul akibat selalu
menekuni penerapan kaidah dan dalil hingga mampu menangkap bagian-bagian
tertentu. Definisi yang dikemukakan oleh al-hanafi ini berlaku komprehensip
terhadap segala aspek, tidak hanya terbatas pada urusan aktivitas lahiriah
(al-‘amal, al-fi’l), melainkan juga urusan kepercayaan serta ketatasulilaan.
Hal ini sangat beralasan mengingat pada masa Abu hanifah, fiqh belum nampak
menjadi disiplin ilmu khusus tersendiri, tetapi fiqih berkonotasi pada
ilmu-ilmu syareat secara keseluruhan. Itulah sebabnya beliau menamakan karya
tulis ilmiah pertamanya yang mencakup lintas aspek keilmuan Islam dengan
“al-fiqh al-akbar”.
Pada perkembangan
keilmuan Islam selanjutnya telah muncul berbagai jenis disiplin keilmuan secara
terpisah satu dari yang lain berdasarkan fokus pembahasan, sehingga muncul
disiplin ilmu kalam atau ilmu tauhid tentang keimanan, ilmu akhlaq dan
tashawwuf tentang perasaan batiniah. Berbagai aspek disiplin yang dibutuhkan
untuk memahami isi al-qur’an disebut ’Ulûm al-qur’ân, disiplin tentang bacaan
al-qur’an disebut ilm al-qirâât dan lain sebagainya, sehingga sekup fiqih
menjadi terbatas pada masalah hak dan kewajiban pada aspek amaliah, dan dengan
begitu, penerus Al-hanafi menambahkan konotasi “amaliah”[5] pada
definisi fiqih yang telah dirumuskan sebelumnya. Ini lain lagi dengan
Al-kasani. Ia mendefinisikan al-fiqhu dengan “suatu disiplin pengetahuan
tentang halal dan haram serta pengetahuan tentang syareat dan hukum”[6].
Imam Al-syafi’i, sebagaimana
mendapat pembenaran dari Al-Zuhailiy[7],
merumuskan terminology fiqih dengan “suatu disiplin pengetahuan tentang
hukum syara’ dalam aspek amal perbuatan (lahiriah) yang dihasilkan melalui
studi terhadap dalil-dalil syara’ yang spesifik (khusus, tertentu)”.
Pengetahuan di sini bukan keyakinan atau kepastian yang bernilai benar mutlak,
tetapi harus difahami sebagai yang muncul pada diri seseorang berdasarkan
dugaan kuatnya. Otomatis kebenarannya bersifat relatif. Bagi Al-syafi’iy, fiqih
juga dapat menunjuk pada “ketentuan hukum syara’ yang dihasilkan melalui
proses ijtihad”. Artinya, fiqih menunjuk pada produk ijtihad itu sendiri, bukan
pengetahuan tentang produk dimaksud.
[1]Husain
Hâmid Hassân, Al-hukm al-syar’iy ‘ind
al-ushûliyyîn, (Cairo:Dâr al-nahdlah al-‘arabiyah, 1972) hal 3 ; Wahbah
Al-Zuhailiy, Ushûl al-fiqh al-islâmiy, (Damascus:Dâr al-fikr, 1986) hal
18
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushûl
al-fiqh, (t.k., Dâr al-fikr al-‘arabiy, t.t.) hal 6.
[3]Muhammad Yusuf Musa, Al-fiqh
al-islâmiy madkhal li dirâsati, nizhâm al-mu’âmalât f îh, (Cairo :Dâr al-kutub al-hadîtsah, t.t.) hal 9.
[4] Wahbah Al-Zuhailiy, Ibid,
hal 19.
[5]Ibid.
[6]Ibid.; Lihat juga Muhammad Yusuf Musa, Op cit.
[7]Wahbah
Al-Zuhailiy, Op cit, hal 19
0 komentar:
Posting Komentar